Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kaitan Penguasaan Bahasa dan Usia

Kaitan Penguasaan Bahasa dan Usia

Kaitan Penguasaan Bahasa dan Usia, Penguasaan bahasa kedua telah menjadi sebuah topik penilitian yang utama dalam linguistik untuk beberapa dekade ini. Upaya-upaya untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan antara penguasaan bahasa pertama dan bahasa kedua oleh anak-anak dan dewasa telah mendorong pada perkembangan Hipotesis Periode Kritis (Critical Period Hypothesis/CPH). 

Hipotesis ini menyatakan bahwa terdapat “sebuah periode kehidupan yang ditentukan secara biologis ketika bahasa dapat dikuasai secara lebih mudah dan di luar kapan bahasa itu secara meningkat sulit untuk dikuasai” (Brown, 53). 

Sebenarnya, hipotesis ini hanya mencakup penguasaan bahasa pertama, namun banyak peneliti sekarang telah memperluaskannya untuk bahasa kedua juga. Banyak aspek dari penguasaan bahasa pertama yang dibawa ke domain penguasaan bahasa kedua, namun asumsi bahwa dua jenis penguasaan bahasa tersebut sama adalah cacat secara fundamental.

Artikel dari Genesee menjelaskan tentang penelitian dalam bidang lingusitik dimana dia mencoba untuk menjelaskan hubungan CPH dengan penguasaan bahasa kedua, namun hasil penelitiannya masih dapat dipertanyakan dan tidak bersifat menyimpulkan. 

Melakukan penelitian secara terpisah, Penfield dan Lennerberg memberikan dua alasan mengapa penguasaan bahasa itu sulit dicapai setelah melewati usia pubertas. Penfield tetap bertahan bahwa kelenturan otak akan hilang “pada usia pubertas, atau setelah itu maka penguasaan bahasa pertama atau kedua seperti penutur asli akan menjadi sulit dan seolah tidak mungkin” (Genesee, 98). 

Kelenturan tersebut memberikan fungsi-fungsi pada banyak area di otak yang berbeda mengalami kerusakan sebelum usia sembilan hingga dua belas tahun dapat kembali pulih untuk penguasaan keahlian-keahlian bahasa secara lengkap, namun anak-anak yang telah mengalami kerusakan otak setelah usia pubertas tidak akan kembali pulih.

Lenneberg sepakat bahwa pembelajaran bahasa setelah pubertas akan mengalami kesulitan yang lebih, namun dia mengargumentasikan bahwa pelengkapan akan “lateralisasi fungsi-fungsi bahasa di belahan kiri otak” (98) merupakan penyebabnya. 

Lenneberg mengkaji anak-anak yang mengalami kerusakan pada belahan kiri otak dan setelah anak-anak berusia lebih dari 12 tahun. Transfer fungsi bahasa ke belahan kanan otak ditemukan pada anak-anak yang mengalami kerusakan sebelum usia 12 tahun, namun jarang terjadi pada mereka yang mengalami kerusakan setelah berusia 12 tahun.

Permasalahan utama dalam penelitian yang dilakukan oleh Penfield dan Lennerberg adalah bahwa penelitian ini hanya berlaku untuk produksi bahasa pertama.

Keahlian-keahlian bahasa pertama dipelajari sebelum dan setelah terjadinya kerusakan pada otak, namun tidak ada kajian untuk keahlian-keahlian bahasa kedual dalam otak yang sehat. Penelitian yang lebih baru dilakukan oleh para ahli linguistik yang lain, seperti Krashen, memberikan bukti berlawanan dengan pelengkapan yang kaku atau kehilangan kelenturan atau lateralisasi oleh karena pubertas (99).

Bukti tentang anak-anak yang mengalahkan orang-orang dewasa dalam penguasaan bahasa kedua itu menyesatkan karena cara pembelajaran bukan karena usia dapat menjadi faktor utama dalam menentukan penguasaan yang berhasil.

Kebanyakan anak-anak mempelajari sebuah bahasa kedua dalam sebuah seting alami, di sisi lain orang-orang dewasa belajar dalam sebuah seting ruang kelas. Karena orang-orang dewasa mempunyai banyak halangan dan perilaku tentang berbicara satu bahasa asing, 

Mereka kurang mampu untuk mengupayakan pembelajaran yang bermakna. Kebanyakan siswa dalam pendidikan yang lebih tinggi disyaratkan untuk mengambil pelatihan bahasa asing agar supaya dapat lulus. 

Siswa yang lainnya mengikuti pelatihan bahasa asing karena mereka ingin mempelajari bahasa tersebut, namun tidak diminta untuk mempelajari secara efektif atau merasa takut untuk berbicara dalam kelas karena takut malu.

Namun, “penelitian dalam penguasaan akan kontrol autentik fonologi dari satu bahasa asing mendukung gagasan tentang periode kritis tersebut.” Kerugian yang paling memaksakan orang-orang dewasa adalah kegagalan untuk “menguasai pengucapan autentik (seperti penutur asli) untuk bahasa kedua” (Brown, 58) yang sayangnya banyak orang menilainya sebagai sebuah fitur yang sangatlah penting untuk bisa penguasaan yang berhasil. 

Banyak orang dewasa yang belajar satu bahasa asing dapat dengan lancar menguasai kontrol tata bahasa dan fungsi-fungsi komunikatif, namun juga aksen bahasa asing tersebut. 

Meskipun, hal ini tidak berarti bahwa penguasaan bahasa kedua tidaklah berhasil. Pada dasarnya, hal ini nampak bahwa orang-orang dewasa melampaui anak-anak dalam semua aspek penguasaan bahasa kedua, kecuali untuk hal aksen bahasa kedua.

Artikel yang dibuat oleh Blakeslee memperluas peranan aksen dan pengucapan dalam pengucapan bahasa kedua. Penelitian yang baru memberikan bukti bahwa “otak orang dewasa itu memungkinkan terjadinya perubahan substansial” (2) yang mengindikasikan bahwa kelenturan tersebut tidak dapat dihalangi seperti yang diperintahkan dalam CPH. 

Meskipun banyak bayi yang baru saja dilahirkan mampu utuk membedakan antara suara-suara dari seluruh bahasa manusia, sedangkan orang dewasa tidak dapat melakukannya. Para ilmuwan neurolinguistik memberikan hipotesis bahwa seiring dengan umur manusia yang semakin dewasa, informasi ditanamkan dalam jaringan otak seperti sel-sel dari pusat otak. 

Karena ucapan hanya terdiri dari sebuah bagian kecil otak, suara-suara ucapan telah membatasi ruang dan “batasan-batasan yang kuat.” Oleh karena itu, jika periode kritis tersebut benar-benar ada untuk semua manusia, hal ini seharusnya tidak mungkin bagi orang-orang dewasa untuk mencapai kelancaran dalam pengucapan seperti penutur asli.

Karena terdapat beberapa individu-individu yang mempelajari satu bahasa kedua setelah pubertas dan menguasai pengucapan seperti penutur asli. Fakta ini mendorong Dr. McClelland di Pittsburgh telah menguji hipotesis tersebut untuk para penutur bahasa Jepang yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua mereka. 

Dia menemukan bahwa seluruh subjek dapat memproduksi pengucapan suara-suara bahasa Inggris seperti penutur asli (/l/ dan /r/, yang merupakan alofon dari fonem yang sama dalam bahasa Jepang) setelah mengikuti pelatihan yang intensif untuk ucapan yang dilebih-lebihkan dan natural dalam jumlah waktu yang relatif sebentar. 

McClelland memberikan catatan bahwa “semua subjek tidak memberikan generalisasi apa yang mereka telah pelajari untuk suara-suara /l/ dan /r/” (3) namun eksperimen tersebut merupakan sebuah awal yang menjanjikan untuk pelatihan bagi otak orang dewasa untuk mengadaptasikan suara-suara baru mereka. 

Temuan-temuan dari McClelland belum pernah diulangi dalam eksperimen-eksperimen lainnya, namun penelitian yang lebih baru akan dilakukan untuk penurunan dan pengurangan aksen pada orang-orang dewasa.

Hipotesis Periode Kritis untuk penguasaan bahasa kedua belum dibuktikan secara konklusif melalui penelitian, ataupun belum dapat disangkal secara lengkap.

Kebanyakan penelitian yang telah ada mengindikasikan bahwa CPH tidak ada untuk semua aspek penguasaan bahasa kedua, namun terdapat “bukti yang kuat tentang sebuah periode kritis untuk aksen” (Brown). 

Namun terdapat banyak keuntungan untuk usia-usia awal dalam hal penguasaan bahasa kedua, terdapat sedikit bukti untuk mendukung ide tersebut bahwa orang-orang dewasa tidak mampu berhasil dalam mempelajari bahasa kedua. 

Dan eksperimen-eksperimen yang lebih baru seperti McClelland dapat membuktikan bahwa pengucapan yang lancar dapat diraih sama baiknya oleh orang-orang dewasa dan anak-anak.