Fakta pendidikan perempuan di Indonesia - Pendidikan era RA Kartini
Fakta pendidikan perempuan di Indonesia ini merupakan tulisan pertama dari (harapannya) banyak tulisan berkaitan dengan pendidikan untuk perempuan (baik yang ada di Indonesia atau pun yang diluar negeri). Hal itu sesuai dengan janji saya dalam postingan yang berjudul RA Kartini inspirator pendidikan bagi perempuan Indonesia beberapa hari yang lalu, dimana untuk menyambut peringatan hari kelahiran RA Kartini tahun ini saya akan menulis atau pun sekedar menerjemahkan artikel tentang pendidikan bagi perempuan. Seperti kita tahu, RA Kartini getol sekali untuk memperjuangkan emansipasi perempuan dan tentunya pendidikan untuk kaum hawa ini.
Fakta pendidikan perempuan di Indonesia ini saya dapatkan dari data Unicef dalam satu dokumen yang berjudul Fact Sheet: Girl Education in Indonesia. Fakta-fakta apa sajakah yang berkaitan dengan pendidikan perempuan di Indonesia? Berikut ini jawabannya.
Pemerintah Republik Indonesia sejak kemedekaannya pada tahun 1945 telah dengan mantap mengembangkan sistem pendidikannya dan juga wajib belajar 9 tahun pendidikan dasar yang dideklarasikan dalam peraturan pemerintah tahun 1994.
Kebanyakan anak-anak,baik laki-laki atau pun perempuan, bersekolah di sekolah dasar dengan skala rasio pendaftaran (NER = Net Enrollment Ratio) mencapai 93 persen pada tahun 2002, tanpa adanya perbedaan gender yang signifikan.
Di tingkat sekolah menengah pertama, NER turun menjadi 61,6 persen dengan rasio yang agak lebih tinggi untuk perempuan (62,4 persen) dibandingkan laki-laki (60,9 persen)
Lebih banyak anak-anak yang berasal dari daerah perkotaan (71,9 persen) yang melanjutkan ke sekolah menengah pertama dibandingkan dari daerah pedesaan (54,1 persen)
Para pendaftar sangat berbeda dalam hal kelompok pendapatan orang tuanya. 20 persen siswa miskin berjumlah kurang dari 49,9 persen dibandingkan dnegan 72,2 persen dari 20 persen siswa kaya.
Data dari Kementrian Pendidikan menunjukkan perbedaan gender yang signifikan dalam hal rata-rata siswa yang putus sekolah, baik di tingkat sekolah dasar atau pun di sekolah menengah pertama. Lebih banyak anak perempuan yang putus sekolah dibandingkan dengan laki-laki. Di sekolah dasar, dari 10 siswa yang keluar 6 diantaranya adalah perempuan dan sisanya laki-laki. Hal ini sama juga terjadi di tingkat sekolah menengah pertama. Perbedaan gender agak melebar di sekolah menengah atas menjadi 7 siswa perempuan yang putus sekolah di setiap 3 siswa laki-laki yang putus sekolah (Kementrian Pendidikan Nasional, 2002)
Hampir 1,8 juta anak-anak di sekolah dasar berusia 7-12 tahun, dan 4,8 juta siswa berusia 13-15, dan sisanya tidak bersekolah (Survei Sosial dan Ekonomi Nasional, 2002)
Data di rata-rata melanjutkan sekolah menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan agaknya sama yang melanjutkan dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Rata-rata melanjutkan sekolah dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama untuk siswa laki-laki (83 persen) agak lebih tinggi-meskipun tidak signifikan-dibandingkan dengan siswa perempuan (81 persen).
Perbedaan gender dalam hal rata-rata melajutkan sekolah itu semakin lebar sedikit-meskipun masih tidak signifikan-di jenjang sekolah yang lebih tinggi yakni dari sekolah menengah pertama ke sekolah menengah atas (73 persen siswa laki-laki berbanding dengan 69 persen siswa perempuan)
Kemampuan melek huruf masih cukup tinggi satu dekade terakhir untuk kelompok umur 15-24 tahun: 96,6 persen di tahun 1992 dan 98,7 persen di tahun 2002.
Tidak ada perbedaan gender dalam hal melek huruf yang cukup signifikan sebagaimana diindikasikan dengan indeks kesetaraan gender 97,9 persen di tahun 1992 dan 99,8 persen di tahun 2002
85 persen perempuan Indonesia yang berusia 15-19 setidaknya mempunyai satu kesalahan konsep yang utama tentang HIV/AIDS atau tidak pernah mendengar tentang AIDS.
Setelah sekilas membaca 10 Fakta pendidikan perempuan di Indonesia di atas, dapat kita lihat bersama bahwa pada dasarnya kesetaraan gender dalam hal kesempatan untuk bersekolah tidak lah terlalu signifikan. Mungkin dengan hal ini RA Kartini merasa tersenyum dan senang di sana bahwa secara kuantitas perempuan Indonesia yang berpendidikan mempunyai jumlah yang kurang lebih sama.
Baca juga: Ketakutan mahasiswa dengan kegagalan